Selasa, 06 Maret 2012

Cara Belajar Agar Mudah Diterima Oleh Otak



Berdo’a Sebelum Memulai Belajar 
 
Berdo’a itu penting loh sebelum kita memulai belajar. Nggak hanya belajar, tapi setiap kita memulai untuk melakukan sesuatu, akan lebih baik kalau kita memulainya dengan berdo’a. Dengan berdo’a Insyaallah semua yang kita pelajari bisa kita terima dengan baik. Tapi ingat..!! kita belajar, memang betul-betul belajar. Maksudnya kita belajar tidak karena ingin membuat sebuah konsepan.

Fokus Kepada Apa yang Kita Kerjakan
 
Fokus terhadap pelajaran juga perlu. Kalau kita belajar dengan membawa masalah lain, misalnya masalah hubungan kita dengan pacar, maka usaha kita untuk belajar secara maksimal pun akan percuma. Karena fikiran kita akan lebih fokus ke masalah pribadi kita. Usahakan ketika kita belajar, fokuskan diri kita terhadap pelajaran. Semua masalah pribadi untuk sementara kita buang jauh-jauh dahulu. Caranya agar kita bisa fokus, mungkin kita bisa mencari sebuah soal yang rumit untuk kita selesaikan. Munculkan rasa penasaran kalian dan pantang menyerah untuk menyelesaikan soal tersebut. Karena rasa pantang menyerah itu membawa kalian untuk membuka-buka buku untuk menemukan penyelesaian dari soal tersebut.

Mencari Tempat yang Pas untuk Belajar
 
Tempat yang pas juga berpengaruh terhadap cara belajar kita agar pelajaran mudah diterima ke otak. Kebanyakan dari kita mencari tempat yang sunyi untuk belajar. Karena pada tempat sunyi kita bisa lebih fokus terhadap pelajaran. Tanpa ada suara yang membuyarkan fokusan kita terhadap pelajaran. misalnya suara orang yang memanggil kita. Karena sekali fokusan kita terhadap pelajaran buyar, maka rasa ingin belajar itu menjadi berkurang dan malah kita tidak ingin belajar lagi. dan itu sangat merugikan kita. Dan satu hal lagi yang sangat penting, yaitu jauhkan HP kalian saat kalian belajar. Bila perlu non_aktif_kan HP kalian. Karena itu merupakan salah satu faktor yang bisa membuyarkan fokusan kalian.

Membuang semua Fikiran Negatif
 
Remaja-remaja seperti kita memang sering sekali berfikiran Negatif. Bukan hanya berfikiran Negatif, tetapi juga melihat dan mendengar semua yang ke arah negatif. Misalnya menggosip, nonton film bokep, dll. Karena hal itu juga bisa mempengaruhi belajar kalian agar cepat masuk ke otak. Kalau kalian sering melakukan hal itu, maka pelajaran kalian pelajari akan sulit untuk diterima. Tetapi jika kalian sering melakukan perbuatan ke arah Yang Maha Esa, maka pelajaran yang kalian terima akan dengan cepat masuk ke otak. Karena semuanya itu adalah maksiat. Dan mempengaruhi otak kita.

Berhenti jika Kalian Merasa Jenuh atau Pusing

Jika kalian sudah merasa pusing, berhentilah. Karena semua itu tidak akan bisa membuat pelajaran yang kalian pelajari masuk ke otak. Seperti yang sering kita dengar bahwa sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.
Semoga tips yang aku berikan bisa bermanfaat untuk kalian semua yang membacanya. Dan satu hal lagi, mulai dari sekarang banyak-banyak lah kalian berdo’a kepada yang diatas. Misalnya untuk yang beragama islam, lakukan shalat 5 waktu dan juga shalat tahajud. Berdo’a kepada Nya untuk meminta kelulusan. Insyaallah keinginan kalian untuk lulus bisa terkabulkan.
Selasa, 07 Februari 2012

Kunci Riski : Silaturrahim

Di antara pintu-pintu rizki adalah silaturrahim. Pembi-caraan masalah ini –dengan memohon pertolongan Allah– akan saya bahas melalui empat poin berikut:


A. Makna Silaturrahim

Makna ‘ar-rahim’ adalah para kerabat dekat. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:‘Ar-rahim secara umum adalah dimaksud-kan untuk para kerabat dekat. Antara mereka terdapat garis nasab (keturunan), baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahram atau tidak.”

Menurut pendapat lain, mereka adalah maharim (para kerabat dekat yang haram dinikahi) saja.

Pendapat pertama lebih kuat, sebab menurut batasan yang kedua, anak-anak paman dan anak-anak bibi bukan kerabat dekat karena tidak termasuk yang haram dinikahi, padahal tidak demikian.”[1]

Silaturrahim, sebagaimana dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari adalah kinayah (ungkapan/sindiran) tentang berbuat baik kepada para karib kerabat dekat –baik menurut garis keturunan maupun perkawinan– berlemah lembut dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka.[2]


B. Dalil Syar’i Bahwa Silaturrahim Ter-masuk Kunci Rizki


Beberapa hadits dan atsar menunjukkan bahwa Allah Subhannahu wa Ta'ala menjadikan silaturrahim termasuk di antara sebab kela-pangan rizki. Di antara hadits-hadits dan atsar-atsar itu adalah:
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, ia berkata, ‘aku mendengar Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan di-akhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya)[3] maka hen-daknyalah ia menyambung (tali) silaturrahim.” [4]
Dalil lain adalah hadits riwayat Imam Al-Bukhari dari Anas bin Malik Radhiallaahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Siapa yang suka untuk dilapangkan rizkinya dan di-akhirkan usianya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia menyambung silaturrahim.” [5]

Dalam hadits yang mulia di atas, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam menjelaskan bahwa silaturrahim membuahkan dua hal, kelapangan rizki dan bertambahnya usia.

Ini adalah tawaran terbuka yang disampaikan oleh makh-luk Allah yang paling benar dan jujur, yang berbicara berda-sarkan wahyu, Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam . Maka barangsiapa me-nginginkan dua buah di atas hendaknya ia menaburkan be-nihnya, yaitu silaturrahim. Demikianlah, sehingga Imam Al-Bukhari memberi judul untuk kedua hadits itu dengan “Bab Orang Yang Dilapangkan Rizkinya dengan Silaturrahim.”[6] Artinya, dengan sebab silaturrahim.[7]

Imam Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits Anas bin Malik Radhiallaahu anhu dalam kitab shahihnya dan beliau memberi judul dengan “Keterangan Tentang Baiknya Kehidupan dan Banyaknya Berkah dalam Rizki Bagi Orang Yang Menyambung Silaturrahim.[8]
Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam beliau bersabda:

“Belajarlah tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung silaturrahim. Karena sesungguhnya silaturrahim adalah (sebab adanya) kecintaan terhadap keluarga (kerabat dekat), (sebab) banyaknya harta dan bertambahnya usia.” [9]

Dalam hadits yang mulia Ini Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam menjelaskan bahwa silaturrahim ini membuahkan tiga hal, di antaranya adalah ia menjadi sebab banyaknya harta.
Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari Ali bin Abi Thalib Radhiallaahu anhu dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam , beliau bersabda:

“Barangsiapa senang untuk dipanjangkan umurnya dan diluaskan rizkinya serta dihindarkan dari kematian yang buruk maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim.” [10]

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam yang jujur dan terpercaya, menjelaskan tiga manfaat yang terealisir bagi orang yang memiliki dua sifat; bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim. Dan salah satu dari tiga manfaat itu adalah keluasan rizki.
Dalil lain adalah riwayat Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar Radhiallaahu anhu ia berkata:
“Barangsiapa bertaqwa kepada Tuhannya dan menyam-bung silaturrahim, niscaya dipanjangkan umurnya dan dibanyakkan rizkinya dan dicintai oleh keluarganya.” [11]
Demikian besarnya pengaruh silaturrahim dalam ber-kembangnya harta benda dan menjauhkan kemiskinan, sam-pai-sampai ahli maksiat pun, disebabkan oleh silaturrahim, harta mereka bisa berkembang, semakin banyak jumlahnya dan mereka jauh dari kefakiran, karena karunia Allah Subhannahu wa Ta'ala .

Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abu Bakrah Radhiallaahu anhu dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bahwasanya beliau bersabda:
“Sesungguhnya keta’atan yang paling disegerakan pahalanya adalah silaturrahim. Bahkan hingga suatu keluarga yang ahli maskiat pun, harta mereka bisa berkembang dan jumlah mereka bertambah banyak jika mereka saling bersilaturrahim. Dan tidaklah ada suatu keluarga yang saling bersilaturrahim kemudian mereka membutuhkan (kekurangan).” [12]


C. Apa Saja Sarana Untuk Silaturrahim ?

Sebagian orang menyempitkan makna silaturrahim hanya dalam masalah harta. Pembatasan ini tidaklah benar. Sebab yang dimaksud silaturrahim lebih luas dari itu. Silaturrahim adalah usaha untuk memberikan kebaikan kepada kerabat dekat serta (upaya) untuk menolak keburukan dari mereka, baik dengan harta atau dengan lainnya.

Imam Ibnu Abu Jamrah berkata: “Silaturrahim itu bisa dengan harta, dengan memberikan kebutuhan mereka, dengan menolak keburukan dari mereka, dengan wajah yang berseri-seri serta dengan do’a.”

Makna silaturrahim yang lengkap adalah memberikan apa saja yang mungkin diberikan dari segala bentuk kebaikan, serta menolak apa saja yang mungkin bisa ditolak dari keburukan sesuai dengan kemampuannya (kepada kerabat dekat).[13]

Kunci Rizki : Melanjutkan Haji dengan Umrah atau sebaliknya.


Di antara perbuatan yang dijadikan Allah termasuk kunci-kunci rizki yaitu melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya. Pembicaraan masalah ini –dengan memohon pertolongan Allah– akan saya lakukan melalui dua poin bahasan:


A. Yang Dimaksud Melanjutkan Haji Dengan Umrah Atau Sebaliknya


Syaikh Abul Hasan As-Sindi menjelaskan tentang mak-sud melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya berkata: “Jadikanlah salah satunya mengikuti yang lain, di mana ia dilakukan sesudahnya. Artinya, jika kalian menunaikan haji maka tunaikanlah umrah. Dan jika kalian menunaikan umrah maka tunaikanlah haji, sebab keduanya saling mengikuti.[1]

B. Dalil Syar’i Bahwa Melanjutkan Haji Dengan Umrah Atau Sebaliknya Termasuk Kunci Rizki


Di antara hadits-hadits yang menunjukkan bahwa melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya termasuk kunci-kunci rizki adalah:
Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallaahu anhu berkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

“Lanjutkanlah haji dengan umrah, karena sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa, sebagai-mana api dapat menghilangkan kotoran besi, emas dan perak. Dan tidak ada pahala haji yang mabrur[2] itu me-lainkan Surga”.[3]

Dalam hadits yang mulia tersebut Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam yang terpercaya, yakni berbicara dengan wahyu menjelaskan bahwa buah melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya adalah hilangnya kemiskinan dan dosa. Imam Ibnu Hibban memberi judul hadits ini dalam kitab shahihnya dengan:

“Keterangan Bahwa Haji dan Umrah Menghilangkan Dosa-dosa dan Kemiskinan dari Setiap Muslim dengan Sebab Keduanya.” [4]

Sedangkan Imam Ath-Thayyibi dalam menjelaskan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam :
“Sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa”, dia berkata, “Kemampuan keduanya untuk menghilangkan kemiskinan seperti kemampuan amalan bersedekah dalam menambah harta.”[5]
Hadits riwayat Imam An-Nasa’i dari Ibnu Abbas , ia berkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

“Lanjutkanlah haji dengan umrah atau sebaliknya. Kare-na sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana api dapat menghilangkan kotoran besi.” [6]

Maka orang-orang yang menginginkan untuk dihilangkan kemiskinan dan dosa-dosanya, hendaknya ia segera melanjutkan hajinya dengan umrah atau sebaliknya.
[1] Hasyiyatul Imam As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa’i, 5/115. Lihat pula Faidhul Qadir oleh Al-Manawi, 3/225.
[2] Haji mabrur adalah haji yang memenuhi semua hukum-hukum (persyaratan)-nya, sehingga dilakukan sesuai dengan yang diminta dari seseorang mukallaf (yang dibebani syar'iat) secara sempurna. (Tuhfatul Ahwadzi, 3/454).
[3] Al-Musnad, no. 3669, 5/244-245. Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Hajj, bab Ma Ja’a fi Tsawabul Hajji wal ‘Umrati, no. 807, 3/454 dan lafazh ini miliknya. Sunan An-Nasa’i, kitab Manasikil Haji, fadhul Mutaba’ti Bainal Hajji wal ‘Umrati, 5/115. Shahih Ibnu Khuzaimah, Kitabul Manasik, bab Al-Amru bil Mutaba’ati Bainal Hajji wal ‘Umrati, no. 464, 4/130. Al-Ihsan ila Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabul Hajj, bab Fadhul Hajji wal’Umrati, no. 3693, 9/6. Imam At-Tarmidzi berkata, “Hadits Ibnu Mas’ud t adalah hasan shahih gharib’. (Jami’ut Tirmidzi, 3/455). Syaikh Ahmad Syakir berkata, “Sanadnya shahih”. (Hamisyul Musnad, 5/244). Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini hasan shahih”. (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 1/245 dan Shahih Sunan An-Nasa’i, 2/558) Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth berkata, “Sanad hadits ini hasan”. (Hamsiyul Ihsan, 9/6).
[4] Al-Ihsan Fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, 9/6.
[5] Faidhul Qadir, 3/225.
[6] Sunan An-Nasa’i, kitab Manasikil Hajj, Fadhul Mutaba’ati Bainal Hajj wal ‘Umrati, 5/115. Syaikh Al-Albani berkata shahih. (Shahih Sunan An-Nasa’i, 2/558).

Kunci Rizki : Beribadah Kepada Allah Subhanaahu wa Ta'ala Sepenuhnya.


Di antara kunci-kunci rizki adalah beribadah kepada Allah sepenuhnya. Saya akan membahas masalah ini–dengan memohon pertolongan kepada Allah– dari dua hal:

a. Makna beribadah kepada Allah sepenuhnya.
b. Dalil syar’i bahwa beribadah kepada Allah sepenuhnya adalah di antara kunci-kunci rizki.

A. Makna Beribadah Kepada Allah Sepenuhnya.


Hendaknya seseorang tidak mengira bahwa yang dimak-sud beribadah sepenuhnya adalah dengan meninggalkan usaha untuk mendapatkan penghidupan dan duduk di masjid sepanjang siang dan malam. Tetapi yang dimaksud –wallahu a’lam– adalah hendaknya seorang hamba beribadah dengan hati dan jasadnya, khusyu’ dan merendahkan diri di hadapan Allah Yang Maha Esa, menghadirkan (dalam hati) betapa besar keagungan Allah, benar-benar merasa bahwa ia sedang bermunajat kepada Allah Yang Maha Menguasai dan Maha Menentukan. Yakni beribadah sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:

“Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kami melihatNya. Jika kamu tidak melihatNya maka se-sungguhnya Dia melihatmu.” [1]

Janganlah engkau termasuk orang-orang yang (ketika beribadah) jasad mereka berada di masjid, sedang hatinya berada di luar masjid.

Menjelaskan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam :
“Beribadahlah sepenuhnya kepadaKu”. Al-Mulla Ali Al-Qari berkata, “Maknanya, jadikanlah hatimu benar-benar sepenuhnya (berkonsentrasi) untuk beribadah kepada Tuhan-mu”.[2]

B. Dalil Syar’i Bahwa Beribadah Kepada Allah Sepenuhnya Termasuk Kunci Rizki


Ada beberapa nash yang menunjukkan bahwa beribadah sepenuhnya kepada Allah termasuk di antara kunci-kunci rizki. Beberapa nash tesebut di antaranya adalah:
Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, ‘Wahai anak Adam!, beribadahlah sepenuhnya kepadaKu, niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, nis-caya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan[3] dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia)’.” [4]
Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam dalam hadits tersebut menjelaskan, bahwasanya Allah menjanjikan kepada orang yang beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan dua hadiah, sebaliknya mengancam bagi yang tidak beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan dua siksa. Adapun dua hadiah itu adalah Allah mengisi hati orang yang beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan kekayaan serta memenuhi kebutuhannya. Sedangkan dua siksa itu adalah Allah memenuhi kedua tangan orang yang tidak beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan berbagai kesibukan, dan ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga ia tetap membutuhkan kepada manusia.
Hadits riwayat imam Al-Hakim dari Ma’qal bin Yasar Radhiallaahu anhu ia berkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Tuhan kalian berkata, ‘Wahai anak Adam, beribadah-lah kepadaKu sepenuhnya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rizki. Wahai anak Adam!, jangan jauhi Aku, sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tangamu dengan kesibukan.”[5]
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam yang mulia, yang berbicara berdasarkan wahyu mengabarkan tentang janji Allah, yang tak satu pun lebih memenuhi janji daripadaNya, berupa dua jenis pahala bagi orang yang benar-benar ber-ibadah kepada Allah sepenuhnya. Yaitu, Allah pasti memenuhi hatinya dengan kekayaan dan kedua tangannya dengan rizki.
Sebagaimana Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam juga memperingatkan akan ancaman Allah kepada orang yang menjauhiNya dengan dua jenis siksa. Yaitu Allah pasti memenuhi hatinya dengan kefakiran dan kedua tangannya dengan kesibukan.
Dan semua mengetahui, siapa yang hatinya dikayakan oleh Yang Maha Memberi kekayaan, niscaya tidak akan didekati oleh kemiskinan selama-lamanya. Dan siapa yang kedua tangannya dipenuhi rizki oleh Yang Maha Memberi rizki dan Maha Perkasa, niscaya ia tidak akan pernah pailit selama-lamanya. Sebaliknya, siapa yang hatinya dipenuhi dengan kefakiran oleh Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan, niscaya tak seorang pun mampu membuatnya kaya. Dan siapa yang disibukkan oleh Yang Maha Perkasa dan Maha Memaksa, niscaya tak seorangpun yang mampu memberinya waktu luang.

[1] Lihat Shahih Muslim, Kitabul Iman, bab Bayanul Iman wal Islam wal Ihsan…., penggalan dari hadits no. 5(9), 1/39.
[2] Murqatul Mafatih, 9/26. Lihat pula Tuhfatul Ahwadzi, di dalamnya disebutkan:
تَفَرَّ غْ مِنْ مُهَمَّا تِكَ لِطَا عَتِي.
“Kosongkanlah (hatimu) dari urusan-urusanmu untuk menta’atiKu.” (7/140).
[3] Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan”. Dikhususkan penyebutan kata ‘tangan’, karena pekerjaan itu dilakukan dengan keduanya. (Faidhul Qadir, 2/308).
[4] Al-Musnad, no. 8681, 16/284. Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Shifatil Qiyamah, bab no. 2583, 7/140 dan lafazh ini miliknya. Sunan Ibnu Majah, Abwabuuz Zuhd, Al-Hammu bid Dunya, no. 4159, 2/408. Al-Mustadrak ‘Alash Shahihain, Kitabut Tafsir, 2/443. Imam At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib (Jami’ut Tirmidzi, 7/141). Imam Al-Hakim berkata, Ini adalah hadits yang sanadnya shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim”. (Al-Mustadrak, 2/443). Dan ini disepakati oleh Adz-Dzahabu (At-Talkhish, 2/443). Syaikh Al-Albani berkata shahih (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/300. Shahih Sunan Ibnu Majah, 2/393).
[5] Al-Mustadrak ’Alash Shahihain, Kitabur Riqaq, 4/326. Imam Al-Hakim berkata, “Sanad hadits ini shahih, tetapi Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya”. (Op. cit. 4/326). Dan hal ini disepakati oleh Adz-Dzahabi (At-Talkhish, 4/326). Syaikh Al-Albani berkata, “Tentang hadits ini, memang seperti dikatakan oleh keduanya”. (Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah, no. 1359, 3/347).

Kunci Rizki : Bertawakal Kepada Allah Subhanaahu wa Ta'ala


Termasuk di antara sebab diturunkannya rizki adalah bertawakkal kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan Yang kepadaNya tempat bergantung. Insya Allah kita akan membicarakan hal ini melalui tiga hal:Yang dimaksud bertawakkal kepada Allah.Dalil syar’i bahwa bertawakkal kepada Allah termasuk di antara kunci-kunci rizki.Apakah tawakkal itu berarti meninggalkan usaha?


A. Yang Dimaksud Bertawakkal kepada Allah


Para ulama-semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan- telah menjelaskan makna tawakkal. Di antaranya adalah Imam Al-Ghazali, beliau berkata: “Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakkali) semata.”[1]

Al-Allamah Al-Manawi berkata: “Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang di tawakkali.”[2]

Menjelaskan makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Al-Mulla Ali Al-Qori berkata: “Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rizki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah.”[3]

B. Dalil syar’i Bahwa Bertawakkal kepada Allah Termasuk Kunci Rizki


Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Muba-rak, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Qhudha’i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khatab Radhiallaahu anhu Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

“Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”[4]

Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam yang berbicara dengan wahyu menjelaskan, orang yang bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rizki oleh Allah sebagaimana burung-burung diberiNya rizki. Betapa tidak demikian, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Hidup, Yang tidak pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepada-Nya, niscaya Allah akan mencukupinya. Allah berfirman:

“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Se-sungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3).

Menafsirkan ayat tersebut, Ar-Rabi’ bin Khutsaim me-ngatakan: “(Mencukupkan) diri setiap yang membuat sempit manusia”.[5]

C. Apakah Tawakkal itu Berarti Meninggalkan Usaha?


Sebagian orang mukmin ada yang berkata: “Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalasan-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?”

Perkataan ini sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkan tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apa pun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha Esa dan Yang kepadanya tem-pat bergantung. Dan sungguh para ulama –semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan– telah mem-peringatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata: “ Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandai-nya mereka bertawakkal kepada Allah dalam kepergian, ke-datangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pu-lang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.”[6]

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid seraya berkata, ‘Aku tidak mau bekerja sedikit pun, sampai rizkiku datang sendiri’. Maka beliau berkata, Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku.”

Dan beliau bersabda:
“Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan se-benar-benar tawakkal, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”

Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu be-rangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka men-cari rizki.

Selanjutnya Imam Ahmad berkata: “Para Sahabat juga berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita”.[7]

Syaikh Abu Hamid berkata: “Barangkali ada yang mengi-ra bahwa makna tawakkal adalah meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan dengan akal serta menjatuhkan diri di atas tanah seperti sobekan kain yang di-lemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat me-motong daging. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram menurut hukum syari’at. Sedangkan syari’at memuji orang yang bertawakkal. Lalu, bagaimana mungkin sesuatu derajat ketinggian dalam agama dapat di-peroleh dengan hal-hal yang dilarang oleh agama pula?

Hakikat yang sesungguhnya dalam hal ini dapat kita kata-kan, “Sesungguhnya pengaruh bertawakkal itu tampak dalam gerak dan usaha hamba ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya”.

Imam Abul Qosim Al-Qusyairi berkata: “Ketahuilah sesungguhnya tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah hal itu tidak bertentangan dengan ta-wakkal yang ada di dalam hati setelah seorang hamba me-yakini bahwa rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena taqdirNya, dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya.”[8]

Di antara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja’far bin Amr bin Umayah dari ayahnya Radhiallaahu anhu , ia berkata:

“Seseorang berkata kepada Nabisaw , Aku lepaskan unta-ku dan (lalu) aku bertawakkal?’ Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: ‘Ikat-lah kemudian bertawakkallah’.” [9]

Dan dalam riwayat Al-Qudha’i disebutkan:
“Amr bin Umayah t berkata: ‘Aku bertanya,’Wahai Rasulullah, Apakah aku ikat dahulu (tunggangan)ku lalu aku bertawakkal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal?’ Beliau menjawab, ‘Ikatlah kendaran (unta) mu lalu bertawakkallah’.” [10]

Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Dan sungguh setiap muslim wajib berpayah-payah, bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata .

[1] Ihya’ Ulumid Din, 4/259.
[2] Faidhul Qadir, 5/311.
[3] Murqatul Mafatih, 9/156.
[4] Al-Musnad, no. 205, 1/243 no. 370, 1/313 no. 373, 1/304. Jami’ut Tirmidzi, Kitabuz Zuhud, bab Fit Tawakkal ‘Alallah, no. 2344, no. 2447, 7/7 dan lafazh ini adalah miliknya; Sunan Ibnu Majah, Abwabuz Zuhd At-Tawakkal wal Yaqin, no. 4216, 2/419. Kitabuz Zuhd oleh Ibnu Al-Mubarak, juz IV, bab At-Tawakkal wat Tawadhu’ no. 559, hal. 196-197. Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabur Raqa’iq, bab Al-Wara’ wat Tawakkal, Dzikrul Akhbar ‘amma Yajibu ‘alal Mar’i min Qath’il Qulubi ‘anil Khala’iqi bi Jami’il ‘Ala’iqi fi Ahwalihi wa Asbabuhi no. 730,2/509. Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, Kitabur Riqaq, 4/318. Musnad Asy-Syihab, Lau Annakum Tatawakkaluna ala’ Allah Haqqa Tawakkulihi, no. 1444, 2/319. Syarhus Sunnah oleh Al-Baghawi, Kitabur Riqaq, bab At-Tawakkal’ala Allah U no. 4108, 14/301. Imam At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits shahih, kami tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini.” (Jami’ut Tirmidzi, 7/8). Imam Al-Hakim berkata, “Ini adalah hadits dengan sanad shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.” (Al-Mustadrak ’Ala Ash-Shahihain, 4/318) Dan disepakati oleh Adz-Dzahabi (At-Talkhis, I4/318). Imam Al-Baghawi berkata, “Ini adalah Hadits hasan” (Syarhus Sunnah, 14/301). Dan sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (Hamisyul Musnad, 1/243). Serta Syaikh Al-Albani menshaihkannya (Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah no. 310, jilid 1, juz III/12).
[5] Syahrus Sunnah, 14/298.
[6] Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 7/8.
[7] Dinukil dari Fathul Bari, 11/305-306.
[8] Dinukil dari Murqatul Mafatih, 5/157.
[9] Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabur Raqa’iq, Bab Al-Wara’ wat Tawakkul, Dzikrul Akhbar bi Annal Mar’a Yajibu Alaihi Ma’ Tawakkulil Qalbi Al-Ihtiraz bil A’dha’Dhidda Qauli Man Karihahu, no. 731, 2/510, dan lafazh ini miliknya. Al-Mustadrak Alash Shahihain, Kitab Ma’rifatish Shahabah, Dzikru Amr bin Umayah t, 3/623. Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata, ‘Sanad hadits ini jayyid’. (At-Talkhish, 3/623). Al-Hafizh Al-Haitsami juga menyatakan hal senada dalam Majma’uz Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, 10/303. Beliau berkata, ‘Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari banyak jalan. Dan para pembawa hadits ini adalah pembawa hadits Shahih Muslim selain Ya’kub bin Abdullah bin Amr bin Umayah Adh-Dhamari, dan dia adalah tsiqah (terpercaya). (Op. cit.,10/303)
[10] Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakkal, no. 633,1/368.

Kunci Rizki : Taqwa


Termasuk sebab turunnya rizki adala taqwa. Saya akan membicarakan masalah ini –dengan memohon taufik dari Allah– dalam dua bahasan:
Makna taqwa.
Dalil syar’i bahwa taqwa termasuk kunci rizki.

A. Makna Taqwa


Para ulama Rahimahullaah telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani mendefinisikan: “Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan”.*1[1]

Sedangkan Imam An-Nawawi mendefinisikan taqwa dengan “Mentaati perintah dan laranganNya.” Maksudnya, menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah Subhannahu wa Ta'ala .*2[2] Hal itu sebagaimana didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani “Taqwa yaitu menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya.”*3[3]

Karena itu, siapa yang tidak menjaga dirinya, dari perbuatan dosa, berarti dia bukanlah orang bertaqwa. Maka orang yang melihat dengan kedua matanya apa yang diharamkan Allah, atau mendengarkan dengan kedua telinganya apa yang dimurkai Allah, atau mengambil dengan kedua tangannya apa yang tidak diridhai Allah, atau berjalan ke tempat yang dikutuk Allah, berarti tidak menjaga dirinya dari dosa.

Jadi, orang yang membangkang perintah Allah serta melakukan apa yang dilarangNya, dia bukanlah termasuk orang-orang yang bertaqwa.

Orang yang menceburkan diri ke dalam maksiat sehingga ia pantas mendapat murka dan siksa dari Allah, maka ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan orang-orang yang bertaqwa.

B. Dalil Syar'i Bahwa Taqwa Termasuk Kunci Rizki


Beberapa nash yang menunjukkan bahwa taqwa termasuk di antara sebab rizki, Di antaranya:
Firman Allah:
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberi-nya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3).

Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa orang yang merealisasikan taqwa akan dibalas Allah dengan dua hal. Pertama, “Allah akan mengadakan jalan keluar baginya.” Artinya, Allah akan menyelamatkannya –sebagaimana dika-takan Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu – dari setiap kesusahan dunia maupun akhirat.*4[4] Kedua, “Allah akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” Artinya, Allah akan memberi-nya rizki yang tak pernah ia harapkan dan angankan.*5[5]

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: “Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkanNya dan meninggalkan apa yang dilarangNya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya,”*6[6]

Alangkah agung dan besar buah taqwa itu! Abdullah bin Mas’ud Radhiallaahu anhu berkata: “Sesungguhnya ayat terbesar dalam hal pemberian janji jalan keluar adalah:
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya”.*7[7]
Ayat lainnya adalah firman Allah:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada me-reka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendus-takan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka di-sebabkan perbuatan mereka sendiri”. (Al-A’raf: 96).

Dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan, seandai-nya penduduk negeri-negeri merealisasikan dua hal, yakni iman dan taqwa, niscaya Allah akan melapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan memudahkan mereka menda-patkannya dari segala arah.

Menafsirkan firman Allah:
“Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai berkah dari langit dan bumi, Abdullah bin Abbas Radhiallaahu anhu mengatakan: “Niscaya Kami lapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan Kami mudahkan bagi mereka untuk mendapatkannya dari segala arah.”*8[8]

Janji Allah yang terdapat dalam ayat yang mulia tersebut terhadap orang-orang beriman dan bertaqwa mengandung beberapa hal, di antaranya:

Janji Allah untuk membuka “ Barakaat” (keberkahan) bagi mereka. “Al Barakaat” adalah bentuk jama’ dari “ Al Barakah” Imam Al-Baghawi berkata, Ia berarti mengerjakan sesuatu secara terus menerus*9[9]. Atau seperti kata Imam Al-Khazin, “Tetapnya suatu kebaikan Tuhan atas sesuatu.”*10[10]

Jadi, yang dapat disimpulkan dari makna kalimat “ Al barakah ” adalah bahwa apa yang diberikan Allah disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan mereka merupakan kebaikan yang terus menerus, tidak ada keburukan atau konsekuensi apa pun atas mereka sesudahnya.
Tentang hal ini, Sayid Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Adapun orang-orang beriman maka apa yang dibukakan untuk mereka adalah berupa berkah dan kenikmatan. Dan untuk hal itu, mereka senantiasa bersyukur kepada Allah, ridha terhadapNya dan mengharapkan karuniaNya. Lalu mereka menggunakannya di jalan kebaikan, bukan jalan keburukan, untuk perbaikan bukan untuk merusak. Sehingga balasan bagi mereka dari Allah adalah ditambahnya berbagai kenikmatan di dunia dan pahala yang baik di akhirat.”*11[11]

Syaikh Ibnu Asyur mengungkapkan hal itu dengan ucapannya: “Makna “Al Barakah” adalah kebaikan yang murni yang tidak ada konsekuensinya di akhirat. Dan ini adalah sebaik-baik jenis nikmat.”*12[12]
Kata berkah disebutkan dalam bentuk jama’ sebagai-mana firman Allah:
“Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai berkah.” Ayat ini, sebagaimana disebutkan Syaikh Ibnu Asyur untuk menunjukan banyaknya berkah sesuai dengan banyaknya sesuatu yang diberkahi.*13[13]
Allah berfirman:
“Berbagai keberkahan dari langit dan bumi”. Menurut Imam Ar-Razi, maksudnya adalah keberkahan langit dengan turunnya hujan, keberkahan bumi dengan tumbuhnya berbagai tanaman dan buah-buahan, banyaknya hewan ternak dan gembalaan serta diperolehnya keamanan dan keselamatan. Hal ini karena langit adalah laksana ayah, dan bumi laksana Ibu. Dari keduanya diperoleh semua bentuk manfaat dan kebaikan berdasarkan penciptaan dan pengurusan Allah .”*14[14]

Ayat lainnya adalah firman Allah:
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan pertengah-an. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka”. (Al-Ma’idah: 66).

Allah Subhannahu wa Ta'ala mengabarkan tentang Ahli Kitab, ‘Bahwa seandainya mereka mengamalkan apa yang ada di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an –demikian seperti dikatakan oleh Abdullah bin Abbas Radhiallaahu anhu dalam menafsirkan ayat tersebut,*15[15]– niscaya Allah memperbanyak rizki yang diturunkan kepada mereka dari langit dan yang tumbuh untuk mereka dari bumi.*16[16]

Syaikh Yahya bin Umar Al-Andalusi berkata: “Allah menghendaki –wallahu a’lam– bahwa seandainya mereka mengamalkan apa yang diturunkan di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an, niscaya mereka memakan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Maknanya –wallahu’alam–, niscaya mereka diberi kelapangan dan kesempurnaan nikmat dunia,”*17[17]

Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Dan sejenis dengan ayat ini adalah firman Allah:

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq:2-3).

“Dan bahwasanya jika mereka tetap berjalan di atas ja-lan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rizki yang ba-nyak).” (Al-Jin: 16).

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada me-reka berbagai keberkahan dari langit dan bumi.” (Al-A’raf: 96).

Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di atas, Allah menjadikan ketaqwaan di antara sebab-sebab rizki dan men-janjikan untuk menambahnya bagi orang yang bersyukur.

Allah berfirman:
“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmat-Ku atasmu.” (Ibrahim: 7).*18[18]

Karena itu, setiap orang yang menginginkan keluasan rizki dan kemakmuran hidup, hendaknya ia menjaga dirinya dari segala dosa. Hendaknya ia menta’ati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Juga hendaknya ia menjaga diri dari yang menyebabkan berhak mendapat siksa, seperti melakukan kemungkaran atau meninggalkan
*1 Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an, dari asal kata “وقى” hal.531.
*2 Tahriru Alfazhit Tanbih, hal.322.
*3 Kitabut Ta’rifat, hal.68.
*4 Tafsir Al-Qurthubi, 18/159. Ar-Rabi’ bin Khutsaim berkata: “Dia memberi jalan keluar dari setiap apa yang menyesakkan manusia.” (Zadul Masir, 8/291-292. Tafsir Al-Baghawi, 4/357 dan Tafsir Al-Khazin, 7/108).
*5 Zaadul Masir, 8/291-292.
*6 Tafsir Ibnu Katsir, 4/400.
*7 Tafsir Ibnu Katsir, 4/400. Tafsir Ibnu Mas’ud, 2/651.
*8 Tafsir Abu As-Su’ud, 3/253.
*9 Tafsir Al-Baghawi, 2/183.
*10 Tafsir Al-Khazin, 2/266.
*11 Tafsir Al-Manar, 9/25.
*12 Tafsir At-Tahrir wat Tanwir, 9/22.
*13 Op. Cit., 9/22.
*14 At-Tafsirul Kabir, 12/185. Tafsirul Khazin, 2/266 dan Tafsir At-Tahrir wa Tanwir, 9/22.
*15 Tafsir Ath-Thabari, 10/463, Al-Muharrar Al-Wajiz, 5/152-153, Zadul Masir, 2/395 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/86.
*16 Tafsir Ibnu Katsir, 2/86, dan Fathul Qadir yang di dalamnya dikatakan, “Penyebutan dari atas dan dari bawah (dalam ayat tersebut) adalah untuk menunjukkan puncak kemudahan sebab-sebab rizki bagi mereka, juga untuk menunjukkan banyak dan keaneka ragaman jenisnya.” (2/85), juga Tafsir At-Tahrir wa Tanwir yang di dalamnya disebutkan, “Maksudnya, niscaya mereka diberi rizki dari semua jalan.” (4/254).
*17 Kitabun Nazhar wal Ahkam fi Jami’i Ahwalis Suuq, hal.41.
*18 Tafsir Al-Qurthubi, 6/241.

UGM Kembangkan Konverter Gas untuk Mobil Pribadi

Daun-Ilmu:
January 12, 2012

Universitas Gadjah Mada berhasil mengembangkan konverter mobil gas yang ramah lingkungan. Hal ini sebagai antisipasi pembatasan penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada April mendatang.
Pemerintah sebenarnya tak perlu repot-repot mengimpor konverter gas kendaraan ke luar negeri. Di dalam negeri pun sebenarnya konverter ini sudah bisa diproduksi. Dan dari kalangan akademisi pun sudah bisa membuatnya.
Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan konverter gas untuk mobil. Konverter tersebut merupakan alat tambahan untuk mobil agar bisa menghirup bahan bakar gas.
Kendaraan bermotor berbahan bakar gas akan lebih murah dibandingkan menggunakan bensin. Hal itu sejalan dengan kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan pembatasan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi mulai bulan April 2012.
“Konverter ini merupakan alat tambahan yang mampu mengubah mobil berbahan bakar premium/bensin menjadi bahan bakar gas,” ungkap Jayan Sentanuhady di kantor Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik UGM, Kamis (11/1/2012).
Menurut dia, prototipe konverter ini telah dipasang dan dikembangkan pada mobil gas penelitian UGM sejak tahun 2009. Untuk cara kerjanya, di jok bagian belakang terpasang tabung gas bertekanan 200 bar.
Gas tersebut kemudian disalurkan ke bagian mesin yang ada di depan. Alat konverter berfungsi juga untuk menurunkan tekanan menjadi 2-3 bar sebelum akhirnya masuk ke bagian injeksi gas dan manipol.
“Tenaga gas ini bisa diubah dengan bensin ketika mobil berjalan maupun dengan kecepatan tinggi,” kata Jayan.
Menurut dia untuk ketersediaan tabung gas saat ini masih terbatas sehingga baru bisa didapatkan di beberapa kota saja seperti di Jakarta, Palembang, dan Surabaya.
Dari sisi lain lanjut dia, konverter gas ini membuat mesin kendaraan lebih ramah lingkungan. Sebab emisi gas buangnya jauh lebih bersih daripada bensin. Dari sisi harga gas lebih murah sampai 40-55 persen daripada bensin.
“Harga 1 liter gas setara 1 liter premium dengan harga Rp 3.100. Sedang premium saat ini Rp 4.500/liter,” katanya.
Jayan menambahkan prototipe konverter gas ini telah melalui tahap standarisasi konverter kit, perawatan dan uji ketahanan mesin. Oleh karena masih prototipe, harga konverter per unitnya masih mahal.
“Kami berharap kalangan industri bisa mengembangkan dan menindaklanjuti sehingga bisa segera dimanfaatkan masyarakat. Selain prototipe untuk gas, kami juga mengembangkan konverter untuk hidrogen, mesin diesel dan sepeda motor,” pungkas doktor lulusan Universitas Saitama Jepang itu.
 
Copyright © Daun Ilmu. All Rights Reserved.
Blogger Template designed by Simple Blogger Tutorials..