Termasuk di antara sebab diturunkannya rizki adalah bertawakkal kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan Yang kepadaNya tempat bergantung. Insya Allah kita akan membicarakan hal ini melalui tiga hal:Yang dimaksud bertawakkal kepada Allah.Dalil syar’i bahwa bertawakkal kepada Allah termasuk di antara kunci-kunci rizki.Apakah tawakkal itu berarti meninggalkan usaha?
A. Yang Dimaksud Bertawakkal kepada Allah
Para ulama-semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik
balasan- telah menjelaskan makna tawakkal. Di antaranya adalah Imam Al-Ghazali,
beliau berkata: “Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang
ditawakkali) semata.”[1]
Al-Allamah Al-Manawi berkata:
“Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang di
tawakkali.”[2]
Menjelaskan makna tawakkal kepada
Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Al-Mulla Ali Al-Qori berkata: “Hendaknya
kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini
kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rizki, pemberian
atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau
sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud
(ada), semuanya itu adalah dari Allah.”[3]
B. Dalil syar’i Bahwa Bertawakkal kepada Allah Termasuk Kunci Rizki
Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu
Majah, Ibnu Al-Muba-rak, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Qhudha’i dan Al-Baghawi
meriwayatkan dari Umar bin Khatab Radhiallaahu anhu Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam bersabda:
“Sungguh, seandainya kalian
bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi
rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan
lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”[4]
Dalam hadits yang mulia ini,
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam yang berbicara dengan wahyu
menjelaskan, orang yang bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal,
niscaya dia akan diberi rizki oleh Allah sebagaimana burung-burung diberiNya
rizki. Betapa tidak demikian, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang
Maha Hidup, Yang tidak pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal
kepada-Nya, niscaya Allah akan mencukupinya. Allah berfirman:
“Dan barangsiapa bertawakkal
kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Se-sungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3).
Menafsirkan ayat tersebut,
Ar-Rabi’ bin Khutsaim me-ngatakan: “(Mencukupkan) diri setiap yang membuat
sempit manusia”.[5]
C. Apakah Tawakkal itu Berarti Meninggalkan Usaha?
Sebagian orang mukmin ada yang
berkata: “Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka
kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup
duduk-duduk dan bermalasan-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?”
Perkataan ini sungguh menunjukkan
kebodohan orang yang mengucapkan tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia
telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung
yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal
burung itu tidak memiliki sandaran apa pun, baik perdagangan, pertanian, pabrik
atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha Esa
dan Yang kepadanya tem-pat bergantung. Dan sungguh para ulama –semoga Allah
membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan– telah mem-peringatkan masalah ini.
Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata: “ Dalam hadits tersebut tidak
ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di
dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud
hadits tersebut, bahwa seandai-nya mereka bertawakkal kepada Allah dalam
kepergian, ke-datangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rizki)
itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pu-lang kecuali dalam keadaan
mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.”[6]
Imam Ahmad pernah ditanya tentang
seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid seraya berkata, ‘Aku
tidak mau bekerja sedikit pun, sampai rizkiku datang sendiri’. Maka beliau
berkata, Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi
Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah
menjadikan rizkiku melalui panahku.”
Dan beliau bersabda:
“Sekiranya kalian bertawakkal
kepada Allah dengan se-benar-benar tawakkal, niscaya Allah memberimu rizki
sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung berangkat pagi-pagi dalam
keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
Dalam hadits tersebut dikatakan,
burung-burung itu be-rangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka
men-cari rizki.
Selanjutnya Imam Ahmad berkata:
“Para Sahabat juga berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka
itulah teladan kita”.[7]
Syaikh Abu Hamid berkata:
“Barangkali ada yang mengi-ra bahwa makna tawakkal adalah meninggalkan
pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan dengan akal serta menjatuhkan
diri di atas tanah seperti sobekan kain yang di-lemparkan, atau seperti daging
di atas landasan tempat me-motong daging. Ini adalah sangkaan orang-orang
bodoh. Semua itu adalah haram menurut hukum syari’at. Sedangkan syari’at memuji
orang yang bertawakkal. Lalu, bagaimana mungkin sesuatu derajat ketinggian
dalam agama dapat di-peroleh dengan hal-hal yang dilarang oleh agama pula?
Hakikat yang sesungguhnya dalam
hal ini dapat kita kata-kan, “Sesungguhnya pengaruh bertawakkal itu tampak
dalam gerak dan usaha hamba ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya”.
Imam Abul Qosim Al-Qusyairi
berkata: “Ketahuilah sesungguhnya tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun
gerak secara lahiriah hal itu tidak bertentangan dengan ta-wakkal yang ada di
dalam hati setelah seorang hamba me-yakini bahwa rizki itu datangnya dari
Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena taqdirNya, dan jika
terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya.”[8]
Di antara yang menunjukkan bahwa
tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah apa yang
diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja’far bin Amr bin
Umayah dari ayahnya Radhiallaahu anhu , ia berkata:
“Seseorang berkata kepada Nabisaw
, Aku lepaskan unta-ku dan (lalu) aku bertawakkal?’ Nabi Shallallaahu alaihi wa
Salam bersabda: ‘Ikat-lah kemudian bertawakkallah’.” [9]
Dan dalam riwayat Al-Qudha’i
disebutkan:
“Amr bin Umayah t berkata: ‘Aku
bertanya,’Wahai Rasulullah, Apakah aku ikat dahulu (tunggangan)ku lalu aku
bertawakkal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal?’
Beliau menjawab, ‘Ikatlah kendaran (unta) mu lalu bertawakkallah’.” [10]
Kesimpulan dari pembahasan ini
adalah bahwa tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Dan sungguh setiap
muslim wajib berpayah-payah, bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan
penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja
keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik
Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata .
[1] Ihya’ Ulumid Din, 4/259.
[2] Faidhul Qadir, 5/311.
[3] Murqatul Mafatih, 9/156.
[4] Al-Musnad, no. 205, 1/243 no.
370, 1/313 no. 373, 1/304. Jami’ut Tirmidzi, Kitabuz Zuhud, bab Fit Tawakkal
‘Alallah, no. 2344, no. 2447, 7/7 dan lafazh ini adalah miliknya; Sunan Ibnu
Majah, Abwabuz Zuhd At-Tawakkal wal Yaqin, no. 4216, 2/419. Kitabuz Zuhd oleh
Ibnu Al-Mubarak, juz IV, bab At-Tawakkal wat Tawadhu’ no. 559, hal. 196-197. Al-Ihsan
fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabur Raqa’iq, bab Al-Wara’ wat Tawakkal,
Dzikrul Akhbar ‘amma Yajibu ‘alal Mar’i min Qath’il Qulubi ‘anil Khala’iqi bi
Jami’il ‘Ala’iqi fi Ahwalihi wa Asbabuhi no. 730,2/509. Al-Mustadrak ‘ala
Ash-Shahihain, Kitabur Riqaq, 4/318. Musnad Asy-Syihab, Lau Annakum
Tatawakkaluna ala’ Allah Haqqa Tawakkulihi, no. 1444, 2/319. Syarhus Sunnah
oleh Al-Baghawi, Kitabur Riqaq, bab At-Tawakkal’ala Allah U no. 4108, 14/301.
Imam At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits shahih, kami tidak mengetahuinya
kecuali dari sisi ini.” (Jami’ut Tirmidzi, 7/8). Imam Al-Hakim berkata, “Ini
adalah hadits dengan sanad shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim.” (Al-Mustadrak ’Ala
Ash-Shahihain, 4/318) Dan disepakati oleh Adz-Dzahabi (At-Talkhis, I4/318).
Imam Al-Baghawi berkata, “Ini adalah Hadits hasan” (Syarhus Sunnah, 14/301).
Dan sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (Hamisyul Musnad,
1/243). Serta Syaikh Al-Albani menshaihkannya (Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah
no. 310, jilid 1, juz III/12).
[5] Syahrus Sunnah, 14/298.
[6] Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi,
7/8.
[7] Dinukil dari Fathul Bari,
11/305-306.
[8] Dinukil dari Murqatul Mafatih,
5/157.
[9] Al-Ihsan fi Taqribi Shahih
Ibnu Hibban, Kitabur Raqa’iq, Bab Al-Wara’ wat Tawakkul, Dzikrul Akhbar bi
Annal Mar’a Yajibu Alaihi Ma’ Tawakkulil Qalbi Al-Ihtiraz bil A’dha’Dhidda
Qauli Man Karihahu, no. 731, 2/510, dan lafazh ini miliknya. Al-Mustadrak Alash
Shahihain, Kitab Ma’rifatish Shahabah, Dzikru Amr bin Umayah t, 3/623.
Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata, ‘Sanad hadits ini jayyid’. (At-Talkhish, 3/623).
Al-Hafizh Al-Haitsami juga menyatakan hal senada dalam Majma’uz Zawa’id wa
Manba’ul Fawa’id, 10/303. Beliau berkata, ‘Hadits ini diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani dari banyak jalan. Dan para pembawa hadits ini adalah pembawa
hadits Shahih Muslim selain Ya’kub bin Abdullah bin Amr bin Umayah Adh-Dhamari,
dan dia adalah tsiqah (terpercaya). (Op. cit.,10/303)
[10] Musnad Asy-Syihab, Qayyidha
wa Tawakkal, no. 633,1/368.
0 komentar:
Posting Komentar